Window of The World

Assalamualaikum...
Peri tinta baru berselancar lagi dengan tulisan nih, kemarin-kemarin terjadi writers block banget hehehe.
Apa itu writers block ? yuk simak bareng :)



Siapa yang tidak kenal dengan kota berjulukan Paris Van Java satu ini ? 

Kota berudara sejuk yang memiliki banyak pemandangan indah dan surganya kuliner, sampai-sampai membuat orang betah berlama-lama untuk liburan bahkan tidak sedikit masyarakat dari luar kota menjadikan kota ini sebagai tempat tinggal.

Yup sudah tidak asing lagi, yaitu Bandung Si Kota Kembang.
Kedatangan saya ke Bandung pada tanggal 1 Juni 2016 lalu bukan untuk berleha-leha menikmati panorama cantik nan alami apalagi berwisata kuliner. Ada hal yang lebih menarik untuk saya lakukan, yaitu menghadiri undangan Workshop selama satu hari di Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah (Bapusipda) yang diperuntukkan Pengelola Taman Baca Masyarakat (TBM) se-Jawa Barat, salah satunya termasuk Rumah Baca Hos Tjokroaminoto,  acara ini mengambil tema “membangun budaya baca masyarakat dengan menulis”.

Tema yang diangkat pada Workshop tersebut berdampak sangat bagus terhadap kekuatan energi sehingga membakar semangat saya menjadi semakin membara. Terbukti dari H-3 sebelum keberangkatan, saya sudah mulai menyiapkan perlengkapan apa saja yang diperlukan, hanya untuk satu hari memang terkesan lebay ya. Namun persiapan jauh-jauh hari sudah menjadi kebiasaan saya sebelum melakukan perjalanan.

Selepas subuh, saya meluncur menggunakan sepeda motor menuju terminal Bekasi. Disana saya bertemu denga Kak Ratih perwakilan dari Forum TBM Grand Umi Bekasi. Kurang lebih tiga jam kami sampai di terminal Leuwi Panjang, Bandung. Disana, Bu Ina dan satu anak laki-lakinya selaku perwakilan Forum TBM Jatibening sudah menunggu kami berdua.

Dengan menggunakan taksi kami berempat tiba di Bapusipda. Workshop berlangsung di Aula lantai 4.  Saya sudah melakukan registrasi, mendapatkan goodie bag yang berisi alat tulis dan handout materi dari para narasumber, serta yang paling penting adalah mendapatkan snack, Hahaha...
karena sangat penting untuk sistem fokus pada otak yang tersambung dengan sistem perut, dimana keduanya harus berkesinambungan agar tidak terjadi error atau kita sebut ‘’keroncongan’’. 

Oke, kembali ke topik

Writers Block ? Kok bisa ?

Pak Jumari Haryadi, beliau lulusan dari fakultas Tekhnik Informatika di Universitas Islam Nusantara Bandung, sejak duduk dibangku SMP hobi menulis. Buku-buku yang dilahirkannya berjenis nonfiksi.

Pada sesi pertama beliau memberikan motivasi dan tips agar tidak menjadi “writers block” (macet nulis) khususnya bagi pemula, karena setiap penulis pasti pernah mengalami berbagai hambatan dalam menulis. 

when your imaginary stop talking to you, why?” kalimat pembuka dari Pak J. Haryadi untuk mencairkan suasana yang terkesan kaku akibat ruangan yang cukup megah dan tempat duduk yang terkesan layaknya anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Sebelum menjawab pertanyaan diatas, saya ingin berbagi kenapa sih kok jadi writers block ?
  1. Tidak ada motivasi
  2. Tidak menguasai topik
  3. Tidak ada waktu
  4. Kurang menguasai kosakata
  5. Tidak pernah membaca
  6. Tidak punya ide
  7. Merasa menulis sulit
  8. Merasa bukan bakat
  9. Bingung memulai tulisan/sering menunda tulisan/malas
  10. Tidak mood
  11. Lingkungan tidak mendukung
  12. Kurang pede
  13. Takut salah karena tidak menguasai EYD
  14. Merasa cepat puas
Wah, kok bisa penyebabnya jadi sebanyak itu ya?

Lalu dengan sikap ingin tahu lebih dalam, saya pun ikut membaca handout.

James Russel Lowell mengatakan “Kalau kita tunggu waktu yang tepat untuk menulis, maka waktu itu tidak akan pernah muncul” 

Begitulah kutipan pertama yang tertulis dihandout Pak J. Haryadi, berhasil membuat saya berpikir dan resapi.

Hal itu seperti mewakili semua jawaban dari penyebab-penyebab menjadi writers block
Kutipan ini pun seperti menyinggung perihal niat, komitmen, dan konsistensi. Karena ketiga hal tersebut menurut saya memang seharusnya sudah tertanam dalam diri kita apabila bersungguh-sungguh ingin menjadi penulis.

Pertanyaannya adalah bersungguh-sungguh seperti apakah itu?

Pak J. Haryadi mengatakan kalau kita bersungguh-sungguh mempelajarinya, mau berlatih mempraktekannya, dan paling penting adalah membaca, menjadi penulis tidak akan sekedar angan-angan belaka, seperti yang dikatakan Thomas Alfa Edison, “Sukses itu adalah 1 persen karena bakat dan 99 persen karena kerja keras. Artinya bukan murni karena bakat yang dimiliki bisa menulis namun karena usaha dan terus berlatih kelak bisa menjadi penulis.  

Membaca dan menulis seperti suami isteri yang akan terus saling membutuhkan dan melengkapi.

Membaca juga bagaikan oksigen yang terus kita hirup setiap hari, menit, bahkan nilai yang terkecil yaitu detik. Tanpa oksigen tentunya kita tidak bisa hidup, sama halnya pula seperti membaca, sebab dengan membaca akan membuka cakrawala berfikir, memperoleh informasi yang mencakup isi, dapat memahami makna bacaan, dan membuka jendela dunia.

Melalui membaca kita dapat menglanglang buana tanpa perlu mengeluarkan uang yang banyak, hanya duduk manis ditemani secangkir teh hangat atau kopi, kita sudah bisa pergi keliling dunia dengan berjuta imajinasi atau informasi yang kita baca dan serap.

Sedangkan menulis, tentunya harus banyak membaca agar dapat meningkatkan perbendaharaan kata, mengetahui tehnik juga tips, dan sebagainya. Dan paling penting yaitu tetap terus berlatih menulis agar tidak sekedar menjadi tukang tulis, contohnya nulis buku harian hehehe. Maka latihan nulis itu hukumnya wajib ya.

Sesi Kedua

ada 3 burung berada di atas kawat, kemudian 1 burung hendak mencari makan.

Maka ada berapa burung yang tersisa? tanya Pak Adrie kepada peserta

Ada peserta yang berhasil menjawab dengan suara lantang dan satunya lagi bergumam dalam hati (itu saya) hehehe

Jawabannya adalah ketiga burung tersebut masih berada diatas kawat.

kira-kira kenapa ya tidak berkurang?
coba ulangi pertanyaannya baik-baik dan cari kata 'hendak'.

Hendak berarti ingin, ingin berati akan mau, akan mau artinya belum dilakukan dan masih diam ditempat.

Sepakat?
Saya sepakat

Pak Adrie menganalogikan dengan menulis, kalau seseorang hendak menjadi penulis tapi belum berlatih dengan rajin, artinya seperti burung tersebut yang hanya diam di tempat.

Penulis yang memiliki nama pena Adrie Nur Alfatia ini seorang lulusan dari ITB (Institusi Tehnologi Bandung) jurusan fisika, membuka sesinya dengan kisah tiga burung kemudian menjelaskan mengenai tehnik menulis berita.

Kali pertama saya mengetahui materi ini, menulis berita ternyata berbeda dengan menulis artikel. berita harus berisi faktual dan bukan opini.

Beberapa kali diberikan soal untuk menulis, dimulai dari sebuah berita singkat yang diacak perkalimatnya sehingga peserta diharapkan membuat tulisan tersebut kembali seperti semula dengan berpatokan pada unsur 5W+1H, yaitu what, why, who, when, where + how.

Menulis berita terasa lebih mudah dibandingkan dengan soal kedua yang hanya diberikan sebuah gambar tanpa diketahui unsur 5W+1H. Mungkin hal tersebut bisa dijadikan sebuah tulisan yang lebih mengarah pada jenis fiksi misalnya puisi, prosa seperti cerpen, dan drama.

Sesi Ketiga

Seorang yang berjuang menjadi tukang becak demi mencukupi biaya untuk menempuh pendidikan di UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) Bandung, Pak Drajat memiliki kepuasan dan kebahagiaan ketika menulis sehingga kini berprofesi sebagai penulis yang sekaligus merangkap menjadi guru matematika.

Kalau kedua narasumber diatas memberikan motivasi bahwa menjadi penulis itu mudah dan pasti bisa asalkan terus berlatih. Berbeda sekali dengan Pak Drajat yang memberikan pengalaman sulitnya menjadi penulis.

Tentunya setiap perjalanan berliku dan perlu usaha serta perjuangan sekalipun ketika sudah piawai dalam menulis belum tentu jalannya selalu mulus, misalnya ditolak berkali-kali oleh penerbit atau media, ketika sudah sepakat dengan penerbit ternyata dibatalkan begitu saja, bahkan ada juga yang bayarannya tidak sesuai dengan kesepakatan awal. 

Selain memberikan materi tehnik menulis, Pak Drajat juga memberikan maksud bahwa kita harus siap dengan peristiwa-peristiwa tersebut, menerima dan berlapang dada, pantang menyerah, terus berkarya, serta meyakini Allah Sang Maha Pemberi rezeki. 

Bagian Akhir

Workshop selesai sekitar pukul 3 sore ditutup dengan sambutan dari Ketua Bapusipda kemudian sesi foto bersama.

Salam L (Literasi)

Bersama Narasumber, dari sebelah Kiri : Pak J. Haryadi, Pak Adrie dan Pak Drajat

Saya sangat senang, pulang-pulang sudah mengantongi sertifikat ditambah ilmu baru yang bisa dipraktekkan. Tak ketinggalan saya juga menyempatkan beli oleh-oleh dekat terminal Leuwi Panjang bersama Kak Ratih. Hehehe

Terima Kasih,
Semoga bubuk peri tinta ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca setia😍












Kategori:

Berbagi:

6 komentar

  1. Membaca adalah kewajiban untuk menulis. Keren banget pengalamannya. Btw, mbak dhiya suka bgt workshop kepenulisan. Pengen dong ikutan. Emang harua ikut TBM?

    BalasHapus
    Balasan
    1. mewakili dari rumah baca hos tjokroaminoto kang, engg juga sebtulnya banyak, tp kita juga harus aktif nyari. join di komunitas aja kang☺

      Hapus
  2. Membaca dan menulis seperti suami isteri yang akan terus saling membutuhkan dan melengkapi. Setuju banget :) tanpa membaca penulis kurang referensi dan hasil tulisannya menjadi garing hehehe. Terima udah share

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah, terima kasih om sudah mampir 😄. yup om betul. semoga tulisannku ini nggak garing (kerupuk kali ah) yaaaa hahaha

      Hapus
  3. Wah.. Keren
    Spektakuler gitu.. Menginspirasi sekali
    Barangkali jika Mas bisot menganalogikan membaca dan menulis adalah suami isteri,, maka saya mengumpamakan membaca sama seperti air, dan menulis adalah ikannya.. Ikan akan mati tanpa air.. :)
    Selamat berdinamika..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaaaah terima kasih mas syafiq sudah mampir di blog peri hehe. Yup selamat berdinamika juga :)

      Hapus